Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menakar literasi digital pelajar di Indonesia lewat Gerakan Siberkreasi. Survei mereka menunjukkan beberapa fakta menarik.
Kemampuan membaca, menulis, dan matematika dianggap sebagai landasan dasar literasi seseorang. Literasi digital dikenal sebagai literasi keempat.
Makna literasi di era kini belum lengkap jika seseorang tidak mampu mengakses dan membuat informasi digital. "Literasi adalah hal yang fundamental, hal yang strategis. Namun, literasi ini bukan pekerjaan yang mudah, karena memerlukan waktu yang lama,” kata Menkominfo Rudiantara di Jakarta, Senin (01/04).
Untuk itu, Kemkominfo membuat gerakan Siberkreasi. Di dalamnya ada pemerintah, korporasi, swasta, operator telekomunikasi, NGO, Civil Society Organization (CSO), bahkan ada figur publik seperti selebritas.
Siberkreasi Kemkominfo menggelar survei literasi digital di kalangan pelajar berusia 13 hingga 18 tahun. Survei dilakukan terhadap dua ribu responden pada September hingga November 2018.
Survei dilakukan untuk menyusun indeks literasi digital remaja di tujuh kota besar tanah air. Pemilihan kota ini berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 tentang wilayah dengan penetrasi internet atau teknologi digital di atas 70 persen.
Pada fase pertama, survei digelar di empat kota, Bandung, Surabaya, Pontianak, dan Denpasar. Selanjutnya survei fase kedua akan dihelat di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar.
Ada delapan komponen literasi digital yang dinilai. Termasuk di dalamnya, Functional Skill and Beyond, Creativity, Collaboration, Communication, The Ability to Find and Select Information, Critical Thinking and Evaluation, Cultural and Social Understanding, dan E-Safety.
Dari delapan komponen yang dinilai, para pelajar mendapat skor tertinggi dalam kemampuan menemukan dan memilah informasi. Remaja di kota Bandung mendapat nilai 85,02, disusul Denpasar dengan nilai 84,08, Pontianak 84,36, dan Surabaya 81,90.
Menurut Ketua Divisi Riset Siberkreasi Catur Nugroho, hal ini baik. Namun, ia menyayangkan rendahnya nilai komponen kreativitas.
Catur menilai, ini karena para pelajar kurang difasilitasi dalam mengembangkan dan mengasah kreativitas di sekolah, pun di rumah. "Bagaimana mereka bisa berkreativitas memproduksi secara kreatif untuk membagikan konten. Dari 8 komponen itu, creativity paling rendah," ujar Catur.
Temuan lain yang juga menarik adalah perihal kemampuan para pelajar menggunakan teknologi digital yang ternyata didapat secara otodidak. Baru kemudian mereka mendapat pengetahuan itu dari keluarga, teman, sekolah, dan cara lain.
"Jadi di Bandung tuh 74,6 persen kemudian Denpasar 62 persen, Pontianak 72 persen, dan Surabaya 57 persen. Jadi mereka kebanyakan secara rata-rata 4 kota ini otodidak. Dan itu paling tinggi untuk bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan tentang teknologi digital," urai Catur.
Melihat temuan ini Rudiantara menyampaikan kritiknya. "Kita harus lihat efektivitas dari sebuah program. Kita banyak upaya meliterasi digital masyarakat, salah satunya lewat Siberkreasi. Kita lihat tadi berapa persen yang lakukan otodidak. Artinya, apa yang kita lakukan itu belum sampai," tukasnya.
Karena itu, pihaknya akan meninjau ulang program literasi yang sudah dilakukan Kemkominfo. "Makanya, kita minta review semua program, mana yang efektif. Kalau yang efektif otodidak, ya sudah kita kerja sama dengan operator, karena masyarakat mengakses internet lewat ponsel," jelas Rudiantara.
Kini, literasi digital bisa jadi alat yang sangat efektif dan progresif untuk mempromosikan pengalaman belajar lebih menarik dan interaktif.